v
Anak yang lahir dan tumbuh dalam keluarga-keluarga yang serba ada,
penuh kasih sayang tetapi kurang disiplin, menghasilkan anak manja.
Semua keinginan mereka relatif terpenuhi berlimpah.
Ada banyak alasan orangtua memanjakan
anak. Di kota besar alasan klasik adalah orangtua kasihan dengan anak
yang ditinggal sendirian di rumah hanya dengan pembantu. Kesibukan kerja
membuat mereka lebih mengikuti kemauan anak. Pemanjaan sebagai jalan
mengatasi rasa bersalah. Semua fasilitaspun disediakan.
Sementara itu, ada orangtua yang tergoda
memanjakan anak karena trauma dengan masa lalunya yang sulit dan pahit.
Hidup dalam kemiskinan (ortu) yang menyakitkan. Setelah dia menjadi
“orang” alias kaya, dia mau anaknya senang. Fasilitas diberikan secara
berlebihan.
Tak jarang anak sampai taraf duduk di
SMP, untuk membuat minumanpun selalu sang Ibu atau pembantu yang
menyediakan. Mengangkat tas ke mobil, dan sebagainya ada supir. Akibanya
anak tidak mandiri. Daya juangnya tidak bertumbuh.
Harga diri mereka pun relatif rendah.
Sebab harga diri mereka dibangun atas apa yang mereka miliki (secara
lahiriah) bukan pada karakter dan nilai hidup yang sehat. Penyebab
lainnya adalah hubungan batin dengan orang tua tidak terbangun, sehingga
mereka cenderung menjadikan teman sebagai sarana curhat dan
menghabiskan waktu. Jika mereka bertemu dengan teman yang salah, mereka
mudah tersesat dalam pergaulan yang buruk. Apalagi mereka diberi uang
jajan berlebihan.
Sikap manja manja juga akan terjadi pada
anak jika orang tua dulunya juga mendapatkan pola asuh yang cenderung
tertekan atau merasa kurang bebas, maka orangtua bersikap serba
membolehkan anak, maka tanpa terasa orangtua telah mencetak anaknya
menjadi individu yang manja.
Adapun cara mengatasi anak yang manja
secara berlebihan (manja yang sampai menganggu kemandirian anak) yaitu:
Tidak memberikan pola asuh yang berpusat pada sikap permisif. Tapi juga
tidak berarti melarang semua hal yang ingin dilakukan.
Ketika anak menuntut segala sesuatu yang
berlebihan dan cenderung mengatur orang tua. Maka sikap tegas dari
orang tua sangat diperlukan. Cobalah mengenalkan hukuman, tidak harus
dipukul. Cukup dengan menyuruh anak untuk duduk diam beberapa menit, itu
hukuman yang cukup bagai anak.
Libatkan anak pada kegiatan sosial,
usaha ini dilakukan agar anak dapat banyak melihat, belajar dan
berinteraksi lebih luas. Ketika anak menunjukan sikap manjanya maka
orangtua dapat mengalihkan perhatian anak pada hal atau kegiatan yang
disukai anak.
Beri kesempatan untuk bermain bersama
anak-anak lain, ini untuk menimbulkan sikap pengertian dan berbagi,
sehingga anak memiliki kedewasaan dalam bersikap. Orang tua juga harus
selalu memberi contoh atau teladan bagaimana bersikap gotong-royong atau
saling menolong dihadapan anak.
Beri sentuhan fisik kasih sayang seperti
pelukan, ciuman, dan belaian dalam menenangkan anak jika sikap manjanya
muncul. Beri juga kalimat untuk menyakinkan anak bahwa apa yang
dilakukan tidak baik. Dan jika anak dalam situasi yang sulit, kuatkan
dia dengan kalimat-kalimat dukungan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Sebenarnya ada banyak cara untuk membuat
anak tidak lagi manja, namun cara-cara tersebut akan sia-sia jika orang
tua tidak melakukan perubahan dalam mengasuh anaknya, terutama orang
tua yang dekat dengan anak.
Akibat dimanjakan, daya tahan stres
merekapun tidak terbangun dengan baik. Tantangan dan kesulitan menjadi
barang mewah bagi anak yang dimanjakan ini. Hingga masa remaja, mereka
tidak cakap membedakan mana itu keinginan (wants) dan kebutuhan (needs).
Dalam pengalaman kerja, di beberapa pusat rehab dan depresi, kami menemukan banyak dari remaja tersebut besar dengan dimanjakan. Mereka tidak cakap mengelola konflik saat berada di bangku SMP dan SMU. Mereka mulai menghadapi pelbagai kesulitan yang mereka tidak jumpai di rumah. Apalagi saat menjumpai orangtuanya mulai keras dan kasar, tidak seperti dia masih duduk di sekolah TK dan SD.
Dalam pengalaman kerja, di beberapa pusat rehab dan depresi, kami menemukan banyak dari remaja tersebut besar dengan dimanjakan. Mereka tidak cakap mengelola konflik saat berada di bangku SMP dan SMU. Mereka mulai menghadapi pelbagai kesulitan yang mereka tidak jumpai di rumah. Apalagi saat menjumpai orangtuanya mulai keras dan kasar, tidak seperti dia masih duduk di sekolah TK dan SD.
Akibatnya anak mudah stres, marah dan
frustrasi, dan obat (narkoba) yang ditawarkan teman mereka rasakan mampu
meredakan konflik batin tersebut. Meski mereka mungkin tidak sampai
menggunakan narkoba, daya juang mereka relatif rendah. Ini mempengaruhi
prestasi studi dan jenjang karir. Tidak sedikit mereka berpindah-pindah
kerja hanya dengan alasan tidak enak dan tidak cocok dengan rekan
sekerja.
Sebagai penutup tulisan ini, Penulis
mengajak kita memikirkan hal ini. Bahwa hal yang menyiksa hidup (anak)
kita sesungguhnya bukanlah kesusahan tetapi justru kesenangan
(berlebih). Mereka yang terbiasa dengan kesenangan, (sering) merasa tak
pernah puas dengan kesenangan. Saat kesusahan datang dia bingung bukan
kepalang serta sulit bersyukur. Mudah stres dan mencari jalan pintas,
seperti drug hingga mencelakakan diri.
Sedangkan mereka yang terbiasa hidup
dengan disiplin dan hidup dengan kesusahan, justru lebih tahan banting
dengan kesusahan. Mereka mudah terhibur dan menghargai kesenangan meski
hanya sedikit. Mereka tertantang mengejar kesenangan (kesuksesan) secara
sportif, bukan dengan jalan pintas karena fasilitas orangtua mereka.
Bagi mereka kesulitan justru menjadi pemicu untuk maju dan bertumbuh.
Ketika sukses mereka menghargai proses lebih dari pada hasil.
Semoga kita diberi hikmat, kasih dan
kebijaksanaan mengasuh anak-anak titipanNya. Terhindar dari perilaku
yang bisa menjadi “penyiksa” anak-anak dengan memanjakan mereka secara
berlebihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar