ilustrasi
Tahun 2015 nanti, Indonesia dan beberapa negara-negara Asia Tenggara
lainnya akan menyambut ASEAN Free Trade Area. Artinya, mulai berlaku
pasar bebas untuk seluruh ASEAN, termasuk industri pelayanan kesehatan.
Siapkah para dokter di Indonesia menghadapi hal ini?Dalam pasar bebas tersebut, orang dan barang akan bergerak bebas di antara negara-negara anggota untuk meningkatkan pasar internasional masing-masing. Di sisi lain, pasar bebas akan membawa dampak negatif jika Indonesia tidak menyiapkan diri dengan baik. Begitu pula para dokter yang harus bersaing dengan rekan sejawat dari negara tetangga.
"Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 200 juta jiwa dan paling besar di ASEAN merupakan pasar yang baik untuk negara lain, termasuk industri kesehatan luar. Saat ini pun kita menyaksikan modal asing sudah banyak masuk dalam industri kesehatan lokal," kata dr Pranawa, PhD, SpPD, K-GH, FINASIM dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dalam acara Media Gathering di Restoran Bumbu Desa Cikini, Jakarta, Selasa (13/11/2012).
Apalagi dr Pranawa melihat bahwa masyarakat Indonesia lebih banyak yang memilih berobat ke luar negeri atau ditangani oleh dokter dari luar ketimbang dirawat oleh dokter dalam negeri. Selain itu, cara promosi layanan kesehatan dari luar juga bisa dibilang jauh lebih ekspansif dibanding layanan kesehatan di Indonesia.
Jika ditengok beberapa situs rumah sakit internasional di luar negeri, tampilan yang 'wah' sudah menghiasi layar komputer. Belum dengan fasilitas dan layanan canggih yang ditawarkan membuat pasien merasa dimanjakan walaupun tujuan pokoknya hanya untuk berobat.
"Rumah sakit luar belum tentu produknya lebih bagus, tapi dari segi delivery dan promosinya lebih bagus. Memang pasien-pasien yang mampu berobat mahal seperti itu hanya 10-15 persen saja dari pasien di Indonesia, tapi itu tetap merupakan pangsa pasar yang besar," kata dr Pranawa.
Tak dapat dipungkiri, Indonesia bisa dibilang cukup tertinggal di bidang kesehatan dibanding negara tetangga. Misalnya saja angka kematian balita di Indonesia pada tahun 2006 adalah 36 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini adalah yang tertinggi di ASEAN. Bahkan Vietnam saja hanya 17 dan Malaysia sebanyak 12 bayi per 1.000 kelahiran hidup.
Oleh karena itu, political will dari pemerintah sangat diharapkan dapat membantu menyiapkan tenaga-tenaga medis profesional menyambut persaingan bebas. Saat ini, banyak mahasiswa dari negara ASEAN yang mulai mempelajari ilmu kedokteran di Indonesia dan mempelajari bahasa Indonesia. Tujuannya ditengarai untuk bersiap merebut pasar di Tanah Air.
"Pada akhirnya nanti, health service akan berubah menjadi health business. Dokter adalah pencari kerja dan bertanggung jawab kepada pemberi kerja," pungkas dr Pranawa.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar